"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Indonesia, tidak bisa lepas dari sejarah panjang
kolonialisme. Dijajah, diperbudak, bersatu, berjuang, kemudian merdeka.
![]() |
gambar diambil dari sini |
Era kolonialisasi Eropa atas Nusantara dimulai pertama
kali pada Tahun 1511 ketika pelaut kenamaan Portugis, Afonso de
Albuquerque, berhasil menaklukkan Malaka. Penaklukan Malaka ini, menjadi
awal Portugis merajai perdagangan rempah-rempah dari Asia ke Eropa melalui
monopoli perdangangan cengkeh di Ternate (1512). Pada rentang waktu yang tidak
terlalu jauh (1521), Spanyol datang ke Tidore. Kedatangan Spanyol ini, membuat
Portugis meradang, karena dianggap melanggar Perjanjian Tordesillas (1494).
Kemudian timbulah perselisihan diantara keduanya. Untuk mengatasi perselisihan
tersebut, maka ditandatanganilah Perjanjian Saragosa (1529) dengan isi
perjanjian adalah Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan kegiatan di
Filipina dan Portugis tetap melakukan aktivitas perdagangan di Maluku.
Tahun 1596, Cornelis De Houtman, pelaut Belanda,
menginjakkan kaki di Banten. Kemudian, 2 tahun setelahnya, Jacob Van Neck,
pelaut Belanda lain, kembali datang ke Banten. Kedatangan bangsa Belanda ini,
menjadi cikal bakal berdirinya Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC),
sekaligus menjadi awal sejarah panjang penjajahan Belanda di Indonesia.
![]() |
gambar diambil dari sini |
Masa panjang penjajahan Belanda, kemudian berganti
dengan penjajahan oleh bangsa Jepang (1942-1945) seiring dengan berlangsungnya
Perang Dunia II. Masa penjajahan Jepang, dapat dikatakan, masa paling terburuk
dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Rakyat Indonesia saat itu mengalami
siksaan, hukuman mati, atau terlibat dalam perbudakan seks.
Dan kemudian, penjajahan yang sedemikian panjangnya
itu berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika Soekarno-Hatta, atas nama
bangsa Indonesia, memproklamirkan kemerdekaannya.
Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaannya....
Tujuh dasawarsa kemudian.
Kebutuhan pokok manusia Indonesia mulai bergeser :
sandang, pangan, papan, smartphone dan akun media sosial.
Media sosial, adalah segala jenis media
komunikasi yang terhubung dengan internet yang memungkinkan setiap orang
untuk berbagi informasi. Ya, berbagi informasi. Semua informasi. Tapi, seperti
kata ilmuwan komputer terkenal, Newton Lee,
“Information is power. Disinformation is abuse of power.”
Wikipedia mengartikan, Disinformation
is intentionally false or misleading information that is spread in a calculated
way to deceive target audiences. Intentionally ini kalau kita artikan dalam
bahasa Indonesia, adalah "dengan sengaja".
Jadi, ketika seseorang dengan sengaja menyebarkan
informasi yang tidak benar atau salah, menurut Newton Lee, maka ini termasuk
penyalahgunaan kekuasaan.
Sekarang, coba kita lihat fakta yang ada di lapangan:
Facebook, perlahan mulai menjadi sarana bagi pihak,
yang menurut saya -brengseknya luar biasa jahat-, untuk menyebarkan informasi
yang bahkan kebenarannya nihil. Mereka melihat, keragaman Indonesia, selain
menjadi kekuatan, bisa menjadi kelemahan yang vital. Isu SARA disebarkan, dimulai
dari menyudutkan ras-ras tertentu, agama tertentu. Entah mau menguasai
Indonesia lah, mau menghancurkan tempat ibadah lah, pokoknya, yang penting
sebar saja kebencian.
Lalu, seperti api yang disulut pada tumpukan jerami,
dengan cepat segera membesar. Saling hina, saling sikut, merasa semuanya benar,
padahal berawal dari hal yang salah. Media sosial menjadi sarana yang sangat
efektif. Bikin saja judul yang provokatif, lalu segera saja tersebar di feed
Facebook. Judul saja, tidak perlu isi. Karena memang tren sekarang adalah
share, baca nanti saja. Meskipun, kalian bikin judul "Nenek Diperkosa
Minta Lagi" padahal isinya jualan pulsa, orang-orang lebih tertarik buat
share.
Atau ketik "Amin".
Bhinneka Tunggal Ika, terancam menjadi dongeng.
Sadarkah, taktik ini pernah digunakan penjajah untuk
meruntuhkan Nusantara.
Merupakan politik pecah belah atau disebut juga dengan
adu domba adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang
bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar
menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks
lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk
bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
![]() |
adu domba woi! bukan domba kawin! gambar dipinjam dari sini |
Rupanya bangsa Indonesia sekarang, masih belum belajar dari sejarah.
Kemarin dijajah negara ini, sekarang lebih memilih dijajah media sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar