Sabtu, Desember 17, 2016

(Memilih) Dijajah Medsos



"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."



Indonesia, tidak bisa lepas dari sejarah panjang kolonialisme. Dijajah, diperbudak, bersatu, berjuang, kemudian merdeka. 
gambar diambil dari sini

Era kolonialisasi Eropa atas Nusantara dimulai pertama kali pada Tahun 1511 ketika pelaut kenamaan Portugis, Afonso de Albuquerque, berhasil menaklukkan Malaka. Penaklukan Malaka ini, menjadi awal Portugis merajai perdagangan rempah-rempah dari Asia ke Eropa melalui monopoli perdangangan cengkeh di Ternate (1512). Pada rentang waktu yang tidak terlalu jauh (1521), Spanyol datang ke Tidore. Kedatangan Spanyol ini, membuat Portugis meradang, karena dianggap melanggar Perjanjian Tordesillas (1494). Kemudian timbulah perselisihan diantara keduanya. Untuk mengatasi perselisihan tersebut, maka ditandatanganilah Perjanjian Saragosa (1529) dengan isi perjanjian adalah Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan kegiatan di Filipina dan Portugis tetap melakukan aktivitas perdagangan di Maluku.

Tahun 1596, Cornelis De Houtman, pelaut Belanda, menginjakkan kaki di Banten. Kemudian, 2 tahun setelahnya, Jacob Van Neck, pelaut Belanda lain, kembali datang ke Banten. Kedatangan bangsa Belanda ini, menjadi cikal bakal berdirinya Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), sekaligus menjadi awal sejarah panjang penjajahan Belanda di Indonesia.
gambar diambil dari sini

Masa panjang penjajahan Belanda, kemudian berganti dengan penjajahan oleh bangsa Jepang (1942-1945) seiring dengan berlangsungnya Perang Dunia II. Masa penjajahan Jepang, dapat dikatakan, masa paling terburuk dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Rakyat Indonesia saat itu mengalami siksaan, hukuman mati, atau terlibat dalam perbudakan seks.

Dan kemudian, penjajahan yang sedemikian panjangnya itu berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia, memproklamirkan kemerdekaannya.



Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaannya....



Tujuh dasawarsa kemudian.

Kebutuhan pokok manusia Indonesia mulai bergeser : sandang, pangan, papan, smartphone dan akun media sosial.

Media sosial, adalah segala jenis media komunikasi  yang terhubung dengan internet yang memungkinkan setiap orang untuk berbagi informasi. Ya, berbagi informasi. Semua informasi. Tapi, seperti kata ilmuwan komputer terkenal, Newton Lee,  



“Information is power. Disinformation is abuse of power.”


Wikipedia mengartikan, Disinformation  is intentionally false or misleading information that is spread in a calculated way to deceive target audiences. Intentionally ini kalau kita artikan dalam bahasa Indonesia, adalah "dengan sengaja".


Jadi, ketika seseorang dengan sengaja menyebarkan informasi yang tidak benar atau salah, menurut Newton Lee, maka ini termasuk penyalahgunaan kekuasaan.

Sekarang, coba kita lihat fakta yang ada di lapangan:

Facebook, perlahan mulai menjadi sarana bagi pihak, yang menurut saya -brengseknya luar biasa jahat-, untuk menyebarkan informasi yang bahkan kebenarannya nihil. Mereka melihat, keragaman Indonesia, selain menjadi kekuatan, bisa menjadi kelemahan yang vital. Isu SARA disebarkan, dimulai dari menyudutkan ras-ras tertentu, agama tertentu. Entah mau menguasai Indonesia lah, mau menghancurkan tempat ibadah lah, pokoknya, yang penting sebar saja kebencian.

Lalu, seperti api yang disulut pada tumpukan jerami, dengan cepat segera membesar. Saling hina, saling sikut, merasa semuanya benar, padahal berawal dari hal yang salah. Media sosial menjadi sarana yang sangat efektif. Bikin saja judul yang provokatif, lalu segera saja tersebar di feed Facebook. Judul saja, tidak perlu isi. Karena memang tren sekarang adalah share, baca nanti saja. Meskipun, kalian bikin judul "Nenek Diperkosa Minta Lagi" padahal isinya jualan pulsa, orang-orang lebih tertarik buat share. 

Atau ketik "Amin". 

Bhinneka Tunggal Ika, terancam menjadi dongeng.

Sadarkah, taktik ini pernah digunakan penjajah untuk meruntuhkan Nusantara.


Merupakan politik pecah belah atau disebut juga dengan adu domba adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
adu domba woi! bukan domba kawin! gambar dipinjam dari sini

Rupanya bangsa Indonesia sekarang, masih belum belajar dari sejarah.

 
Kemarin dijajah negara ini, sekarang lebih memilih dijajah media sosial.

Ampas!

*) tulisan ini dapat dibaca juga di https://adapapadisini.wordpress.com/

Tidak ada komentar: