Selasa, November 15, 2016

Ketika Gayung Mandi Berasa Barbel 10 Kilo


Sejak dulu, saya memang tidak berbakat di bidang olahraga. 

Sepakbola, misalnya, yang kata orang bilang permainan paling populer sejagad. Jaman kecil dulu, penentuan tim dilakukan berdasarkan suit antara dua anak paling jago. Pemenangnya punya hak privilege menentukan anggota tim pertamanya, baru selanjutnya pihak yang kalah. Dengan sistem pemilihan seperti ini, bisa dipastikan saya adalah anggota tim yang dipilih di urutan terakhir. Ya, kalo tidak terakhir, maksimal satu sebelum terakhir lah. Nah, orang-orang pilihan terakhir ini biasanya ditempatkan di posisi bek. Entah kenapa, anak yang bakat main bolanya setipis ikan asin, yang nendang bola kedepan tapi endingnya selalu naik ke awan (kadang malah ikut bumi berotasi 2 kali dulu, baru balik ke lapangan), selalu ditempatkan sebagai bek. Posisi bek sebenarnya lebih mirip seperti penjaga sandal (yang biasa dipakai sebagai tiang gawang). Mau gimana lagi, kenal formasi pun tidak, setiap kali perebutan bola, hampir semua anak pasti ikut berebut. Bola entah dimana, yang penting kaki diayun. Kaki memar sudah biasa, kuku jempol patah sudah biasa, berantem sambil bawa-bawa "Nanti, aku bilangin Bapakku lho..." juga hal yang biasa.

Meskipun sebenarnya, posisi bek ini lebih beradab ketimbang posisi kiper. Karena dulu, yang jadi kiper pasti dipilih anak yang gendut. Meskipun gendutnya cuma dikit, tapi kalau lebih gendut dari yang lain, pokoknya kiper. Beruntungnya, meskipun saya waktu itu tergolong "gendut", tapi ada yang lebih gendut dari saya. Herannya, si kiper ini meskipun dia jarang banget lari-lari rebutan bola, dia selalu yang pertama minta ganti. Alesannya "Emak gue nyariin nih...".
Dan setelah itu, posisi saya turun pangkat menjadi kiper.....

----------------------------------




Selepas kuliah, olahraga bisa dibilang sangat jarang saya lakukan. Mentok juga futsal, dengan jadwal seminggu sekali, itu saja belum tentu bisa datang. Belum lagi, waktu itu saya perokok (ya, waktu itu, sekarang sudah tidak lagi). Sehari satu bungkus. Plus kopi, teh manis, cemilan tiada henti, dan  makan padang pasti nambah nasi (siapa bisa menolak kelezatan bumbu rendang?). Alhasil, awal tahun 2015 kemarin, berat badan saya menyentuh angka 82. Ini kira-kira seukuran penguin kebanyakan martabak manis.

Dengan berat badan segitu gedenya, buat duduk pun rasanya 'ngap'. Rumah makan dengan tipe lesehan, hampir pasti dicoret dari pilihan. Ya mau gimana, duduk bersila aja susah. Ukuran celana nembus angka 35. Peningkatan drastis dari waktu pertama kerja yang cuma 31. Pakai baju slim fit serba salah. Pinggang tumpah-tumpah, kancing berontak karena tidak mampu menahan tonjolan perut, lengan meronta-ronta karena sempitnya ruang gerak. Akhirnya baju slim fit hanya jadi pajangan. 
Istri saya secara kejam pernah bilang "Itu perut sampai bisa jadi sandaran tangan..."
Hati saya terpukul, saya kecewa. Hari itu saya cuma makan empat centong nasi....
Ibu, aku hamil....

Dalam kebingungan dan kegundahan tiada tara, saya mencoba bertanya kepada Google, bagaimana cara menurunkan berat badan. Pada saat itu OCD sedang hangat-hangatnya. OCD dari Oom Dedy Corbuzier yang katanya diet dan olahraga intensitas tinggi yang katanya bisa mengurangi berat badan secara optimal. Belum juga mencoba, istri saya malah melarang saya melakukan diet ala OCD. Ya, berhubung istri saya sarjana gizi, dia mungkin lebih tau risiko melalukan diet OCD ini.

Sampai akhirnya, ketika iseng klik-klik Youtube, sama menemukan video Levent Oz. Levent Oz ini ternyata juga punya masalah yang sama dengan apa yang saya hadapi. Dari kecil jarang berolahraga dan punya masalah dengan tumpukan lemak. Kemudian, dia mencoba melakukan Freeletics selama 15 minggu. 
Dan berakhir dengan................sixpack!! 
Sinting!

Apa itu Freeletics?
Freeletics adalah olahraga yang berasal dari Munchen dan didirikan oleh Andrej Matijczak, Joshua Cornelius dan Mehmet Yilmaz pada tahun 2013. Freeletics bisa dibilang merupakan salah satu jenis latihan HIIT (High Intensity Interval Training). Latihan ini hanya memanfaatkan berat badan sendiri dan dilakukan secepat mungkin. Latihannya pun hampir tidak perlu menggunakan alat yang mahal. Perkembangan terbaru, Freeletics saat ini memiliki latihan berupa Bodyweight (memanfaatkan berat badan) dan Running. Kalian bisa cari aplikasinya di App Store.

Karena merupakan latihan dengan tipe HIIT, Freeletics menuntut kita melakukan rangkaian gerakan diulang 3-5 set dan dilakukan secepat-cepatnya. Tantangan dari Freeletics memang mencatat waktu terbaik setiap latihan.

Mengutip dari situsnya, Freeletics Bodyweight terdiri dari 3 tipe latihan:
  1. The Cardio-focus mainly features workouts and runs that improve your cardiovascular endurance. That doesn’t mean that strength exercises are completely excluded – a short, occasional session can make a big difference to your overall conditioning. This focus is based on the fitness test and progressing through the workouts and will give you all you need to increase your body definition.
  2. Cardio & Strength offers a varied mix of strength and endurance components, in order to unleash several athletic abilities at once. This coaching focus can contain literally anything from runs to highly complex sets – but whatever happens, it will always be based on your own abilities!  Whether you want to break down fat, build muscle or improve your performance – with the Cardio & Strength stream, anything is possible! 
  3. The Strength stream concentrates on workouts and exercises that are tightly focused on building strength. Short runs and sprints are incorporated in the routines as an additional means to encourage your progress.


Saya sendiri memilih melakukan latihan Cardio & Strenght. 

Sebenarnya aplikasi Freeletics ini gratis, namun untuk menu latihan yang terprogram (kalau istilah Freeletics, pakai Coach) diharuskan membayar dengan jumlah tertentu. Ya, berhubung saya menganut prinsip ekonomis, saya coba googling menu 15 minggu, dan, ternyata ada. Tapi, menu 15 minggu tersebut bisa dibilang menu lama, tidak up to date. Jika kalian mau menu latihan yang lebih terprogram, lebih baik pakai menu Coach. 

Selama 15 minggu, saya diharuskan melakukan beberapa menu latihan. Setiap minggu kira-kira ada 4-5 menu latihan yang harus kita lakukan. Menu latihan tiap minggu berbeda-beda. Selain itu, pada minggu-minggu tertentu ada tantangan Hell Week. Hell Week menuntut kita menyelesaikan 3 menu latihan dalam satu hari. Yap, 3 menu latihan dalam satu hari.

Sebagai gambaran, beberapa menu latihan freeletics sebagai berikut:


Pertama kali saya melihat menu latihan ini, saya sempat keder juga. Dengan latihan sebanyak itu, mau berapa jam selesainya? Di panduan Freeletics ada latihan Pre Program selama lima minggu untuk membiasakan diri dengan gerakan Freeletics. Karena sudah punya bekal jogging tiap pagi dua bulan terakhir antara 3-5 kilo, saya cukup pede melewati Pre Program dan langsung menuju menu latihan pertama : Venus.

Venus, seperti gambar diatas, terdiri dari 4 ronde, masing-masing 50 push up, 20 sit up dan 50 squat. Berarti secara total, dalam satu menu latihan, saya harus melakukan 200 push up (!!), 80 sit up, dan 200 squat. Bisa?   

Aplikasi Freeletics, akun instagram dan facebooknya selalu bikin saya 'panas' dengan quote motivasinya. Jargon Freeletics paling 'nyodok' di hati adalah "quit is not an option" dan satu jargon lagi yang bikin kipas-kipas :

'Don't stop when you're tired. Stop when you're done' 

Hari itu, di sesi latihan Freeletics pertama, saya menyelesaikan menu Venus dalam waktu 1 jam 10 menit! Keringat seperti tidak mau berhenti. Saya lupa berapa gelas air yang saya minum. Pokoknya capek. Saya meyesal kamar mandi rumah tidak dilengkapi dengan shower. Ngangkat gayung serasa barbel 10 kilo. Pegal luar biasa. Bangun pagi pun, rasanya seperti digebukin sapi bolak-balik.
Entah kenapa, meskipun pegal, rasanya kok semakin hari semakin nagih. Semakin ingin mengejar waktu yang lebih cepat (kalau istilah di Freeletics namanya PB-Personal Best). Meskipun siksaan menu latihannya itu luar biasa. Tapi, pegel-pegelnya cuma kerasa seminggu pertama. Minggu kedua dan seterusnya, pegal-pegal tidak terasa lagi. Semakin lama latihan, catatan waktu juga semakin membaik. 

Berkat Freeletics, berat badan saya yang awalnya sempat tembus angka 82, akhirnya (waktu itu) bisa turun ke angka 69. Turun 13 kilo! Kenapa saya bilang waktu itu, karena itu 4 bulan setelah Freeletics (sekitar bulan Juni-Juli 2015). Setelah turun ke 69, saya sempat "murtad" dari Freeletics dan lebih sering lari, lari dan lari. Sekarang sih, berat badan stabil di 72-73. Berkat Freeletics juga, saya 'terpaksa' berhenti merokok. Soalnya, Freeletics membutuhkan stamina prima. Merokok cuma membuat paru-paru jebol. Mungkin saya bisa koma kalau masih merokok ketika menjalan program Freeletics.

senangnya, bintang laut tidak lagi menganggapku sebagai bangkai paus bongkok
Berhubung, kemarin lihat-lihat foto lama, saya jadi kangen sama Freeletics. Saya kembali menekuni Freeltics lagi. Masih dengan menu latihan yang sama Cardio & Strenght, dan masih dengan jadwal jadul (masih belum berniat pakai Coach, soalnya mahal. Mahahaha). Ketika tulisan ini dibuat, saya sudah memasuki Woche 4 (istilah Freeletics, artinya Minggu keempat dari 15 minggu). 

Sensasi latihan pertama setelah sekian lama tetap bikin terkejut-kejut. Venus, saya melahapnya dalam waktu 23 menit 39 detik. Lumayan lah. Meskipun ngos-ngosan. Melihat catatan waktunya jika dibandingkan ketika pertama kali sekali memulainya memang cukup baik. Tapi jika dibandingkan terakhir kali saya melakukannya ya melorot banget. Tapi paling tidak, berkat rutin lari, stamina saya ga jebol-jebol amat lah.

Kalau dipikir-pikir, dengan latihan yang begitu berat, badan pegal-pegal, kenapa saya masih betah menjalani sampai akhir? Sejujurnya, saya cuma punya niatan pengen kurusan dikit. Ya, cuma niatan itu yang jadi motivasi saya. Tiap minggu saya nimbang pakai timbangan di klinik kantor. Begitu jarum timbangan mulai berkurang, rasanya senang sekali. Itu jadi motivasi saya untuk terus latihan di minggu-minggu berikutnya. Apalagi, kalau lihat foto jaman gendut dulu, rasanya kok malu. Masa pengen gendut lagi sih. Sekali-kali, sehat dikit lah.

Saya sempat ditawari oleh beberapa teman yang kebetulan ikut MLM yang menawarkan produk-produk pelangsing. Saya sempat tegiur. Enak banget kayaknya, cuma minum teh, tau2 kurusan 4 kilo. Lah, saya untuk turun 4 kilo aja mungkin butuh latihan 4-6 minggu Freeletics. Sampai kemudian, secara tidak sengaja saya membaca blog seorang yang sedang menjalan program Freeletics disini, judulnya Instan itu Buat Para Pemalas.

Jeger!

Asem! Nohok banget. 

Saya harus akui, tulisan-tulisan dari https://rizaalmanfaluthi.com ini jadi salah satu motivasi tambahan saya menyelesaikan Freeletics.

Menutup tulisan ini, saya sarankan kepada yang ingin memulai Freeletics : mulai sekarang, karena nanti bisa berati 'tidak akan pernah'.






 



Tidak ada komentar: