Kamis, April 03, 2014

Saya Mencintai Tetangga Lebih Dari Istri Sendiri.

Saya mencintai  tetangga lebih dari istri sendiri.

Begitu kira-kira ungkapan hati seorang tukang tambal ban dengan pengalaman kerja lima belas tahun tujuh bulan yang istrinya menjadi TKI di semenanjung arab delapan tahun terakhir. 

Ya, saya.

Saya menanggung beban sebagai kepala rumah tangga sekaligus ibu rumah tangga bagi tiga anak saya. Anak pertama saya masih kelas satu SMP, empat kali tidak naik kelas. Anak kedua saya tidak sekolah, cacat mental kata dokter di puskesmas. Setiap hari saya yang memandikan dan mengurusnya buang hajat. Merepotkan. Bahkan muka dia tidak mirip saya. Anak saya yang ketiga kelas dua SD, sudah tiga hari ini tidak mau sekolah karena sepatu kirinya jebol di samping. Saya berjanji membelikannya sepatu baru, tapi tiga hari ini janji tersebut masih belum saya tepati.

Istri saya sudah tiga tahun tidak pulang, tidak memberi kabar, bahkan tidak menyetor uang selama kurun waktu itu. Saya tidak bisa menghubunginya, saya tidak punya telepon. Jika punya pun saya tidak tahu mau telepon kemana. Saya punya alamatnya, sembilan belas kali saya mengirim surat. Tidak ada balasan. Surat saya yang ke duapuluh masih setengah ditulis. Sudah habis asa saya. Surat yang keduapuluh saya biarkan saja setengah jadi tanpa pernah terkirim. 

Saya melarat. Saya berhutang kepada tetangga sebelah limaratus ribu untuk membayar sewa lapak tambal ban di jalan raya sana. Sewa lapaknya dua ratus ribu sebulan. Dua bulan saya belum bayar. Lokasinya strategis, di perempatan. Setiap hari ada saja ban motor dan mobil yang bocor. Paling sedikit tiga, paling banyak lima belas. Saya tidak segila tukang tambal ban lain yang menebar paku di pagi buta. Saya juga tidak ke dukun minta penglaris supaya banyak ban kecoblos, kebalikan sama caleg-caleg dan capres-capres yang ke dukun malah minta supaya banyak yang nyoblos. 

Tapi saya harus bayar uang keamanan ke preman-preman jalanan seratus ribu setiap bulan. Uang keamanan sampah! Tetap saja saya diperas mereka setiap hari. Belum pula dua kali saya kena garuk Satpol PP. Kata mereka, tempat saya tidak berijin. Padahal saya sudah sewa lapak ini. Hah! Ijin sama siapa komandan? Ini jalan negara, jadi saya harus minta ijin presiden begitu? Maaf komandan, presiden tidak kenal orang kecil macam saya. Presiden cuma kenal istrinya, menteri, dan direktur. Orang macam saya ini apa? Apalagi disuruh minta ijin buka tambal ban ke presiden. 

Kembali kepada masalah hutang. Tetangga saya baik sekali. Janda empat puluh tujuh tahun dengan satu orang anak. Bercerai sepuluh tahun lalu. Mantan suaminya menikah lagi dengan seorang waria asal Thailand. Orientasi seksualnya memang jadi pemisah pernikahan mereka. Janda itu kaya raya. Kata orang-orang, orang tuanya bekas jenderal. Janda itu punya perusahaan travel besar. Nomor empat terbesar se-Indonesia Raya. Anaknya yang sekarang mengurus perusahaan itu. 

Rumahnya tingkat empat. Ada kolam renang besar di belakang rumah. Saya tahu ketika saya beranikan diri meminjam uang kepadanya lima hari lalu. Kata orang, dia dermawan. Pinjam saja, pasti dikasih. Dia tidak peduli dengan uang. Uangnya terlalu banyak untuk dihitung. Kebalikan dengan saya, uang saya terlalu sedikit untuk dihitung. bahkan saya kadang tidak perlu menghitung karena memang tidak ada uang tersisa di dompet atau di stoples plastik bekas astor diatas meja makan rumah saya. 

Pembantu rumahnya bilang, saya disuruh kebelakang. Majikan sedang berenang, katanya. Saya lalu masuk ke istana megah itu. Ada banyak botol-botol minuman di lemari dekat meja makan. Botol minuman yang belum pernah saya lihat seumur hidup saya. Mengeja nama minuman itu pun membuat lidah saya kelu. Jack apalah, Jose apapun itu. Susah.  Tapi ada satu nama minuman yang mudah saya eja dan namanya kampungan sekali. Martini. Hahaha, sama seperti nama nenek saya. Martini, cuma satu kata. Tanpa embel-embel. Orang kampung memanggilnya Tini. Tidak saya kira, ada nama minuman seperti nama nenek saya.

Tiba saya di kolam renang. Tetangga saya sudah beranjak dari kolam terbungkus baju handuk putih yang kelihatan mahal. Simpul sederhana terikat diperutnya. Air kolam masih menetes dari rambut dan dagunya. Empat puluh tujuh tahun tapi seperti masih tiga puluh tahun. Wajahnya tidak menampakkan kerut sama sekali. Perawatan orang kaya, pikir saya. Umur saya, empat puluh tahun, dahi saya, pipi saya, tangan saya, semua penuh kerut.  Kulit saya legam, nyonya besar itu berkulit putih gading. Tionghoa? Bukan. Dayak. Ya, orang Dayak memang putih-putih, begitu kata teman saya yang pernah bekerja di pabrik sawit di Borneo sana.

Cantik. Ya, bagi saya ini, wanita ber make up pun saya sebut cantik. Meskipun saat ini, dia cuma berbasah-basah tanpa make up sedikitpun, dia cantik. Tak terbantahkan. Saya jelaskan kepadanya betapa saya membutuhkan pinjaman uang empat ratus ribu untuk sewa lapak dua bulan. Dia bilang akan beri lima ratus ribu. Saya bilang tidak perlu lebih, saya takut tidak bisa mengembalikan. Dia bilang, kembalikan saja empat ratus ribu jika ada uang. Dia tidak memberi batas waktu. Ikhlas, katanya. 

Habis kata-kata saya.   

Dia bicara lagi, pelan-pelan kali ini, dia bilang akan memberi saya delapan ratus ribu setiap bulan dengan syarat. Syarat apa kata saya. Dia jawab, temani tidur seminggu dua kali setiap hari rabu dan jumat jam delapan malam. 

Lagi-lagi habis kata-kata saya.

Dia bicara lagi, dia bilang susah jadi janda selama sepuluh tahun. Nafsu tidak bisa ditahan. Saya bicara dalam hati, saya tiga tahun tanpa istri. Nafsu memang tidak bisa ditahan.

Saya mengangguk tanpa kata-kata. Dia tersenyum lebar.

Hari ini hari Rabu. Jumat kemarin saya sudah tidur bersamanya. Gila. Wanita kaya memang gila. Nafsu seperti kuda. Saya senang, nafsu saya juga kuda. Kuda bertemu kuda. Liar sekali.

Saya menunggu waktu-waktu seperti ini. Saya tidak lagi merindukan istri saya.

Seperti saya bilang, saya mencintai  tetangga lebih dari istri sendiri.

Meskipun dia hanya menganggap saya sebagai budak semata.


gambar diambil dari sini
-----------------------------------------------------

-lagi bosan-